Konflik Organisasi



Definisi Konflik
Sebuah proses yang di mulai ketika satu pihak memiliki persepsi bahwa pihak lain telah mempengaruhi secara negatif, atau akan mempengaruhi secara negatif, sesuatu yang menjadi kepedulian atau kepentingan pihak pertama.
Suatu suasana yang melibatkan pertentangan antara dua orang atau lebih akibat daripada ketidaksamaan matmalat yang hendak di capai.
Pengertian Konflik Organisasi
Terjadinya ketidakselarasan tujuan, perbedaan intrepetasi fakta,ketidak sepahaman yang di sebabkan oleh ekspetasi perilaku. Atau tingkah laku di dalam dua komponen organisasi yang bertentangan yang disebabkan kehilangan pengerrian terhadap balasan organisasiatau akibat interaksi kelompok-kelompok lain.
Jenis dan sumber konflik
Jenis Konflik                                                                                         
1.      Konflik Tugas (task conflict)
Konflik tugas terjadi karena anggota organisasi menghadapi ketidaksesuaian peran yang dia jalaankan dengan status yang (terutama) diikuti dengan kemampuan, pengetahuan, pendidikan, keterampilan dan lain-lain.
2.      Konflik antarpersonal (interpersonal conflict)
Konflik ini terjadi manakala hubungan antarpersonal dalam organisasi terganggu. Gangguan ini terjadi lantaran ada ketidaksepakatan antarpersonal terhadap kebutuhan atau keinginan personal yang seharusnya dapat dipenuhi oleh organisasi. Sering kali konflik ini disebut personality clash karena relasi antarpersonal dalam komunikasi organisasi yang tidak efektif.
3.      Konflik Prosedural (procedural conflict)
Terjadi bila anggota organisasi tidak sepakat tentang prosedur yang mengatur tentang bagaimana kelompok mencapai tujuan (karena masing-masing menginginkan prosedur baru) konflik ini ada konflik produktif sebab bila diselesaikan dapat meningkatkan kinerja organisasi.
Sumber konflik

  • Saling ketergantungan tugas. Apabila satuab-satuan kerja harus saling tergantung untuk membentuk kerjas.
  • Ketegantungan satu arah. Bila satu unit kerja secara unilateral tergantung dari unit kerja lainnya.dalam kasus seperti ini seberapa besar potensi konflik atau kooperasi sangat tergantung pada cara situasi tersebut dikelola. Kadang-kadang konflik muncul bila seluruh kelompok yang terlibat diberi terlaul banyak pekerjaan. Tekanan diantara berbagai macam kelompok akan naik, dan mereka saling menyalahkan atau melepar tanggung jawab. Konflik mungkin juga memanas bila pekerjaan didistribusikan secara sama tetapi penghargaan-penghargaan diberikan secara berbeda-beda. Konflik potensial adalah terbesar bila suatu unit tidak dapat mulai pekerjaannya karena harus menunggu penyelesaian pekerjaan unit lain.
  • Diferensiasi horizontal yang tinggi. Bila unit-unit kerja memiliki tujuan, organisasi waktu, dan filsofi yang berbeda, seperti produksi, pemasaran, dan keuangan.
  • Formalisasi yang rendah. Bila tidak ada pedoman, manual, dan standarisasi, maka perselisihan mudah timbul
  •  Kelangkaan sumber-sumber. Bila unit-unti kerja tergantung dari fasilitas, tenaga, dana, dan anggaran yang terbatas. Bila setiap satuan dalam suatu organisasi mempunyai sumber daya terbatas, masalah bagaimana membaginya merupakan konflik potensial. Sumber daya-sumber daya tersebut harus dialokasikan, sehingga beberapa kelompok tak terelakkan akan mendapatkan lebih sedikit dari pada yang mereka inginkan atau butuhkan. Konflik dapat timbul karena kelompok-kelompok organisasi bersaing untuk memperebutkan bagian terbesar sumber daya-sumber daya yang tersedia.
  • Perbedaan-perbedaan dalam berbagai tujuan. Seperti telah kita ketahui, kelompok-kelompok organisasi cenderung menjadi terspesialisasi atau dibedakan karena mereka mengembangkan berbagai tujuan, tugas dan personalia yang tidak sama. Perbedaan-perbedaan ini sering mengakibatkan konflik kepentingan atau prioritas, meskipun tujuan organisasi sebagai keseluruhan telah disetujui. Sebagai contoh, departemen penjualan mungkin menginginkan penetapan harga rendah untuk menarik lebih banyak langganan, sedangkan departemen produksi mungkin menghendaki harga lebih tinggi untuk menutup biaya-biaya produksi. Karena para anggota setiap departemen mengembangkan berbagai tujuan dan sudut pandangan yang berbeda-beda, mereka sering menghadapi kesulitan untuk menyetuju program-program kegiatan.
  • Perbedaan kriteria evaluasi. Bila unit-unit kerja dinilai prestasinya secara terpisah, dan bukan atas dasar presentasi bersama.
  • Perbedaan nilai-nilai atau persepsi. Perbedaan-perbedaan tujuan di antara para anggota  berbagai satuan dalam organisasi sering berkaitan dengan berbagai perbedaan sikap, nilai-nilai dan persepsi yang dapat menimbulkan konflik. Sebagai contoh, para manajer tingkat atas, yang terlibat dengan pertimbangan-pertimbangan jangka panjang hubungan manajemen-serikat buruh, mungkin ingin menghindari penetapan perjanjian-perjanjian, dan mungkin malah mencoba untuk membatasi fleksibilitas para penyelia lini pertama. Para anggota departemen teknis mungkin menggunakan kriteria nilai-nilai mereka atas dasar kualitas produk, kecanggihan desain dan daya tahan, sedangkan para anggota departemen pabrikasi mungkin mendasarkan nilai-nilai mereka pada kesederhanaan desain dan biaya-biaya produksi yang rendah. Ketidaksesuaian nilai-nilai tersebut dapat menimbulkan konflik.
  • Kemenduaan organisasional. Konflik antarkelompok dapat juga berasal dari tanggung jawab kerja yang dirumuskan secara mendua (ambiguous) dan tujuan-tujuan yang tidak jelas. Seorang manajer mungkin mencoba untuk memperluas peranan kelompok kerjanya, usaha ini biasanya akan menstimulasi para manajer lain untuk “mempertahankan lading mereka”. Di samping itu, komunikasi yang mendua dapat menyebabkan konflik pengertian yang berbeda bagi kelompok-kelompok yang berbeda.
  •   Pembuatan keputusan bersama. Proses pembuatan keputusan bersama menumbuhkan peluang perselisihan dan ketidakcocokan.
  •   Ketidakselarasan status. Peranan suatu profesi dalam suatu organisasi yang tidak sesuai dengan statusnya secara umum.
  • Ketidakpuasan. Perasaan ketidakpuasan atas perlakuan bisa menimbulkan ketidakpuasan dan konflik.
  • Distrosi komunikasi. Hambatan, ketidakjelasan, penahanan dan pemutarbalikan informasi baik sengaja maupun tidak sengaja.
Strategi Penyelesaian Konflik
Beberapa ahli seperti Megginson, Mosley dan Pietri (1986) maupun Owens (1991) menawarkan dua strategi manajemen konflik yang akhir-akhir ini berkembang cukup prospektif dan dapat diterima, mereka sepakat bahwa manajemen konflik dapat ditinjau dari dua dimensi, yaitu:
 1.     Kebekerjasamaan atau cooperativeness. Cooperativeness adalah keinginan untuk memenuhi kebutuhan minat pihak lain. 
2.      Kegigihan atau assertiveness. Assertiveness adalah keinginan untuk memenuhi keinginan dan niat diri sendiri.

Secara tradisional Winardi (1994) menyatakan konflik dapat dihadapi dengan cara bersikap acuh, menekan atau menyelesaikannya. Sikap acuh berarti tidak ada upaya langsung untuk menghadapi konflik yang telah termanifestasi, dalam keadaan demikian konflik dibiarkan berkembang menjadi sebuah kekuatan konstruktif atau sebuah kekuatan destruktif. Menekan sebuah konflik yang terjadi menyebabkan menurunnya dampak konflik yang negatif, tetapi tidak berusaha mengatasi, maupun meniadakan pokok-pokok penyebab timbulnya konflik tersebut. Sedangkan penyelesaian konflik terjadi apabila latar belakang terjadinya konflik diabaikan dan tidak diantisipasinya kondisi-kondisi yang antagonis sebagai penyebab kembali munculnya konflik di masa yang akan datang. 

 Hendricks (1992) menawarkan lima gaya dalam menyelesaikan konflik, yaitu;
  1. Mempersatukan (integrating) dengan gaya ini mendorong tumbuhnya berfikir kreatif, karena masing- masing individu dapat mensintesakan informasi dan perspektif yang berbeda;
  2. Kerelaan untuk membantu (obliging), maksudnya dengan menaikkan status pihak lain sehingga pihak lain merasa rela mengalah dan gaya ini bila digunakan dengan efektif akan melanggengkan hubungan antar individu,
  3. Mendominasi (dominating) gaya ini tekanannya pada diri sendiri, dimana kewajiban bisa diabaikan oleh keinginan pribadi, gaya ini sering diasosiasikan dengan istilah gertakan;
  4. Menghindari (avoiding) adalah gaya menghindari dari persoalan, dan
  5. Kompromis (compromising). 
  
Sedangkan Dunnete (1976) memberikan lima strategi untuk mengatasi konflik dalam lima kemungkinan yaitu ;
  1. jika kerja sama rendah dan kepuasan diri sendiri tinggi, maka gunakan pemaksaan (forcing) atau competing,
  2. jika kerja sama rendah dan kepuasan diri sendiri rendah, maka gunakan penghindaran (avoiding),
  3. jika kersama dan kepuasan diri sendiri cukup (seimbang), maka gunakan kompromi (compromising),
  4. jika kerja sama tinggi dan kepuasan diri sendiri tinggi, maka gunakanlah kolaboratif (collaborating),
  5. jika kerjasama tinggi dan kepuasan diri sendiri rendah, maka gunakan penghalusan (smoothing).   




Daftar Pustaka
Herujito,Yayat. M. Dasar-dasar manajemen. Jakarta : Grasindo, 2006.
Robbins, Stephen P. Organization Behavior. Salemba Empat. 2008.
Shah, Ishak Mad. Kepemimpinan dan hubungan interpersonal dalam organisasi. Malaysia : Universiti Teknologi Malaysia. 2006.
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/132243759/JURNAL%20KONFLIK%20DAN%20MOTIVASI.pdf
 

Comments

Popular posts from this blog

Set Instruksi

COMPUTER ARITHMETIC

RESENSI NOVEL